Welcome to Rodi Hartono's Personal Weblog...!!!
TopBottom
Announcement: Wanna Exchange Links...? Contact Me at: (rudi.stainkrc@gmail.com).
Author: Rodi Hartono Posted at:Selasa, 31 Maret 2009
Share this post:
Ma.gnolia DiggIt! Del.icio.us Yahoo Furl Technorati Reddit

LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

BAGI PENDIDIKAN

Rodi Hartono

NIM: 11077/2008


“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...”
(QS Ali Imran [3]: 110).

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia paling natural. Tidak seorangpun yang dapat hidup tanpa pendidikan. Dalam bentuk yang primitif, manusia memperoleh pendidikan dalam keluarga, kemudian melebar kedalam komunitas masyarakatnya. Sedangkan dalam masyarakat modern, sekolah merupakan institusi,dimana peserta didik dibekali dengan sejumlah pengetahuan,keterampilan dan nilai.

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.

Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan

B. Pengertian Filsafat Pendidikan

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.

Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.

Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.

Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si - terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.

Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.

Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ). Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.

C. LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN

Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti Landasan ontologis, Landasan epistemologis, dan aksiologis ilmu pendidikan.

1. Landasan ontologis

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan Landasan ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil teas hasil belajar summatif, Nilai akhir Ujian Nasional atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2.Landasan epistemologis

Landasan epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti Landasan epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

3. Landasan aksiologis

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan Landasan yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.

Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

D. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

1. Idealisme

Idealis adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipaham, dalam kebergantungan pada jiwa (mind) dan spirit ( roh). Istilah ini di ambil dari “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini ada pada Plato. Idealis mempunyai argumen efistimologis tersendiri. Mereka mengunakan argumen yang mengatakan bahwa objek-objek pada akhirnya adalah ciptaan tuhan; argument orang idealis mengatakan bahwa objek-objek fisik tidak dapat dipahami terlepas dari spirit

Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini ada;ah Plato (427-347 SM) yang secara umum dipandang sebagai Bapak Idealisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Aliran ini menurut –Poedjawijatna- memandang dan menganggap yang nyata hanya idea. Idea tersebut selalu tetap atau tidak mengalami perubahan dan pergeseran. Aliran filsafat Idealisme menekankan moral dan realitas spiritual sebagai sumber-sumber utama di alam ini.

Sejarah idealisme berawal dari pemikiran Plato (427-347 SM). Pemikirannya berpengaruh terhadap para pemikir ± 2000 tahun sesudahnya, termasuk pemikir dikalangan agama Masehi. Aliran ini juga telah ikut berpengaruh kepada pemikiran filusof Barat, seperti Immanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Menurut Plato, kebenaran empiris yang dilihat dan rasakan terdapt dalam alam ideal (esensi), form atau ide.

2. Perenialisme.

Perennialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai continuing throughout the whole year, atau lasting for a very long time abadi atau kekal dan pana berarti pula tiada akhir, Dengan demikian essensi kepercayaan filsafat Perennial ialah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi. Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah, maka perenialisme dianggap suatu aliran yang ingin kembali atau mundur kepada nilai-nilai masa lampau dengan maksud mengembalikan keyakinan akan nilai-nilai asasi manusia masa silam untuk menghadapi problem kehidupan manusia saat sekarang dan bahkan sampai kapanpun dan dimanapun

3. Esensialisme.

Filsafat Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan pada nialai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Ia muncul pada zaman renaissance dengan ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaan utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksebelitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memeiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. essensislisme suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya. Oleh karena itu wajar jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai peletak dasar-dasarnya. Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari oleh pemikiran filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran ini lebur kedalam paham esensialisme. Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.

4. Progresivisme.

Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara cepat. Dalam filsafat pendidikan progrevisme adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka sedemikian rupa sehingga mereka dapat berpikir secara sistimatis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan analisis, pertimbangan dan pembuatan kesimpulan menuju pemelihan alternative yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme disebut juga instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelejensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dia disebut eksperimentalisme karena aliran tersebut mneyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Ia juga dinamakan enviromentalisme karena aliran ini memnggap bahwa lingkungan hidup mempengaruhi pembinaan kepribadian . Adapun ciri-ciri filsafat progresivisme adalah :

1). Progresivisme berakar pada pragmatisme.

2). Sasaran pendidikan ialah meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi) dalam rangka efektivitas pemecahan masalah yang disajikan melalui pengalaman.

3). Nilai bersifat relative, terutama nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner dan konsekuensi perilaku.

5. Pragmatisme.

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.Aliran ini bersedia menerima apa saja, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, mistik semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asal membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.. dengan demikian, Patokan pragmatis adalah manfaat bagi hidup praktis.

Di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan melekatnya nama William James sebagai tokohnya, di samping John Dewey.Di InggrisF.c Schiller.

Filsafat pragmatis dalam perkembangannya selanjutnya, aliran ini menyetujui tiga patokan yaitu : (1)Menolak segala inteletualiasme (2)Obsolutisme (3) meremehkan logika formal. Aliran ini memandang realitas sebagai Sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan terus menerus. James mengatakan bahwa kebenaran tiada yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena didalam praktiknya apa yang kita anggap benar dapat dikorelasi oleh pengalaman berikutnya, Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak yang adalah kebenaran-kebenaran yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat berubah oleh pengalaman berikutnya.sementara itu Horne mengatakan bahwa pragmatis adalah satu aliran yang lebih mementingkan orientasinya kepada pandangan antriposentris (berpusat kepada manusia) kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia kearah hal-hal yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualita serta perbuatan dalam masyarakat.

E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.

Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

F. Penutup

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.

Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.

Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.

DAFTAR REFERENSI

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon

Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press

Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur

Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

0 komentar:

Posting Komentar